Untuk sebagian orang sebuah kata jujur
adalah penting dan sebagian lagi jujur adalah hal yang tidak perlu
diprioritaskan karena kebohongan atau ketidakjujuran saat ini sudah dianggap
wajar. Miris memang ketika kita menyadari hal itu. Padahal tidak ada kata wajar
untuk hal-hal yang buruk karena dampak yang ditimbulkan akan merugikan diri
sendiri dan orang lain. Hanya segelintir orang yang menjunjung tinggi kejujuran
dan mengingatkan orang lain yang tidak jujur. Mungkin saja kita sudah memikiki
sifat jujur, namun kita tetap membiarkan orang lain mengidap penyakit
ketidakjujuran ini. Memang, mengingatkan orang lain tidaklah mudah jika diri
sendiri saja belum menanamkan sifat jujur. Bagi pelajar, aktivitas
ketidakjujuran yang sering diabaikan kerugiannya bahkan menganggapnya sudah
biasa dan tidak merasa berdosa adalah “menyontek”. Mengapa mereka tidak merasa
berdosa ? Jawabannya adalah “Toh, orang lain juga banyak yang menyontek”.
Kalimat tersebut juga mengartikan bahwa “Toh, menyontek itu sudah biasa, jadi
jangan heran lagi”. Ya, inilah fenomena saat ini.
“Budaya menyontek”, ya, dua kata tersebut
sering disebut-sebut oleh kita. Entah itu diberi tambahan kata “jangan”
“hapuskan” atau seperti kalimat “budaya menyontek masih saja dilakukan pelajar
Indonesia ketika ujian.” Mengapa kata menyontek sering disandingkan oleh kata
budaya ? Sudah begitu melekatkah kegiatan menyontek oleh pelajar Indonesia
sehingga sudah menjadi budaya ? Bahkan sampai kita pernah mendengar dan melihat
berita tentang pelajar SMA ketika ujian yang sisi kanan dan kiri kepalanya
dilekatkan papan hingga menutupi pandangan mata mereka agar tidak lirik kanan
kiri alias menyontek. Bisa dibayangkan ? Kalau tidak, sudahlah lupakan saja.
Pada intinya kegiatan menyontek oleh para pelajar sudah begitu parah di negeri
ini sehingga ketika ujian harus diawasi sebegitu ketat.
Bicara tentang menyontek, lalu apa
hubungannya dengan ketidakjujuran ? Jelas kita tahu, dinamakan tidak jujur
karena ujian yang dikerjakan bukan jawaban kita sendiri, bukan pemikiran kita
sendiri. Kita telah bohong kepada guru dan orang tua kita di rumah. Ketika kita
mendapat nilai tinggi, guru dan orang tua kita bangga karena menyangka bahwa
kita adalah anak yang cerdas dan pintar. Namun, ternyata nilai tersebut adalah
hasil menyontek. Apakah masih bisa dikatakan cerdas dan pintar ? Bukan hanya
orang-orang terdekat dan tersayang yang telah kita bohongi tapi kita juga telah
membohongi diri sendiri. Mungkin kita bahagia ketika mendapatkan nilai yang
tinggi namun saya yakin kebahagiaan itu hanya sementara karena ketika menelisik
hati nurani kita, kebahagiaan itu akan lenyap. Hati nurani kita akan berkata,
“Ah, saya tidak terlalu bahagia mendapatkan nilai tinggi karena itu bukan hasil
kerja keras saya. Saya telah berbohong, saya telah melakukan perbuatan dosa.
Justru saya merasa nilai itu sudah tidak berharga lagi.” Ya, hati nurani akan
selalu membawa kita menuju cahaya sedangkan hawa nafsu akan selalu membawa kita
menuju kegelapan.
Sekarang banyak hal-hal yang batil (buruk)
dianggap biasa. Jika seperti itu apakah masih ada orang baik di masa depan
nanti. Mungkin saja puluhan tahun yang akan datang, manusia tidak bisa
membedakan mana yang baik dan buruk. Maka, saya ingatkan. Jadilah orang jujur. Orang
jujur memang sedikit, maka jadilah bagian dari orang yang sedikit itu. Karena jujur
itu mutmainnah, menenangkan. Jujur itu benar. Jujur itu membawa kebahagiaan.
Sedikit saya ambil sebuah cerita dari buku yang saya baca. Ada seorang pemuda di tepi sungai yang sedang kelaparan. Pemuda itu berdo'a agar Allah memberikannya makanan. beberapa saat kemudian, pemuda itu melihat buah delima yang hanyut di sungai. Karena kelaparan, pemuda itu langsung mengambilnya dan memakannya. Setelah selesai makan, pemuda itu baru menyadari kesalahannya karena mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Dia berpikir mungkin saja buah itu sedang dicari pemiliknya. Akhirnya pemuda tersebut, mencoba menelusuri asal dari buah delima tersebut dengan menyusuri arah sungai. tibalah disuatu kampung, hampir semua orang di kampung tersebut sudah ia tanyakan tentang buah delima itu, namun belum ada yang mengetahuinya. Akhirnya, beberapa lama kemudian, ia melihat sebuah rumah yang di halaman rumahnya tersebut terdapat pohon buah delima. Ternyata benar, buah delima tersebut pemiliknya adalah bapak pemilik rumah itu.
Pemuda tersebut meminta maaf kepada sang bapak karena telah memakan buah delima itu tanpa ijin. Sang Bapak berpikir sejenak dan berkata "Baiklah, saya akan memaafkan kamu, namun dengan satu syarat." "Kamu harus menikah dengan anak gadis saya yang buta, tuli dan bisu." Bapak tersebut menambahkan. Pemuda itu terkejut, tidak menyangka persyaratannya begitu sulit. Namun untuk menebus kesalahannya itu, pemuda tersebut bersedia menikah dengan anaknya.
Akhirnya akad nikah sudah terlaksana dengan mempelai laki-laki dan perempuannya tidak saling bertatap muka. Karena dalam Islam, akad nikah pun mempelai laki-laki dan perempuan dipisahkan sebelum halal. Setelah itu, malam harinya sang pemuda dipersilakan masuk ke dalam kamar dimana sang istri telah menunggu. Ketika masuk kamar, pemuda tersebut terkejut dan ia keluar kamar lagi. Berkata kapada sang bapak, sepertinya dia salah masuk kamar karena di dalam kamar bukanlah wanita yang diceritakan sang bapak bahwa anaknya buta, tuli dan bisu bahkan gadis itu cantik sekali. Bapak tersebut berkata, "memang gadis itu adalah istrimu, dia memang tidak buta, tuli dan bisu. Saya ingin menikahkan anak saya dengan kamu, karena saya tahu kamu adalah pemuda sholeh."
Dari cerita di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa, buah dari kejujuran adalah kebahagiaan yang tidak diduga-duga. Inilah yang dinamakan the miracle of honesty.
Komentar
Posting Komentar